Penghuni Pinggiran
Ufuk barat
lamat-lamat berganti malam. Di sorot lampu-lampu jalan itu, sesosok bayang
perempuan berusia senja, berkulit setengah gelap karena sengatan matahari,
bersandal jepit tipis yang telah terkikis aspal dan menggenggam sebuah plastik
berisi uang recehan. Ia berjalan lemah bersama bocah kecil menuju tempat
persinggahannya.
Dialah perempuan tegar yang ditinggal oleh suaminya setahun yang lalu.
Suami yang juga seorang pemulung sempat mencukupinya dan membuatkan rumah yang
cukup sederhana, namun akhirnya meninggal terkena stroke setelah lahan rumah
itu tervonis gusur karena surat tanah dinyatakan tidak sah.
Bocah yang bersamanya adalah cucu
dari anak perempuannya yang telah meninggal tertabrak truk gandeng dua tahun
yang lalu. Saat itu, almarhumah sedang menjajakan gorengan demi kehidupan sang
buah hati yang masih berumur 5 tahun. Sementara suami sendiri telah menghilang
bersama perempuan gelapnya yang entah kemana.
“Nek …!” panggil sang cucu sehabis
lama bergeming sedari tadi.
“Apa?” sahut nenek sambil menepis
keringat di wajahnya.
“Capek, Nek. Istirahat dulu yuk!”
“Baiklah, kita istirahat di sana.”
Nenek itu menuding ke arah halte
yang semakin dekat. Setelah baru meraih tempat duduknya, sang bocah kembali
menggerakkan bibirnya,
“Ini tempat apa ya, Nek?”
“Ini tempat orang menunggu
kendaraan.”
“Kalo yang di depan ini, gedung apa,
Nek?”
“Yang itu, gedung perkuliahan.” Sang
nenek terus tersenyum penuh sabar.
“Perkuliahan …? Ko’ Uji baru tahu
nama itu, Nek? Apa itu, Nek?”
“Katanya sih, perkuliahan itu adalah
sekolahan tinggi.”
“Oh, sekolahan yang gedungnya
tinggi, Nek?”
“Bukan itu maksudnya. Sekolahan
tinggi itu adalah sekolah yang sudah tingkat paling atas.”
“Wah, Uji juga mau banget sekolah di
gedung itu, Nek.”
Perempuan janda itu terkesiap dan
merenung sejenak. Lalu, tersenyum sedingin hawa petang. “Kerja kita cuma
ngemis, dapat dari mana biayanya? Makan saja sudah sekarat, apa lagi sampai
kuliah. Lihat kamu sekarang, SD pun belum bisa seperti teman-teman yang lain.”
“Memang sekolah itu juga pakai uang
ya, Nek?”
“Ya pastilah, cucuku. Sekolahan di
Negara kita ini perlu biaya mahal.”
“Enggak ada yang gratis, Nek?”
“Itu yang Nenek kurang tahu, ada apa
tidak. Meskipun Nenek sering dengar kabar, bahwa pemerintah kita akan
menyediakan sekolah untuk rakyat miskin, Nenek belum pernah merasa ada
sekolahan yang gratis.”
Uji berdiam
sekaligus menerawang satu persatu lalu-lalang orang-orang yang berkendara di
jalan. Beberapa saat kemudian, bocah imut itu kembali berbicara,
“Iya, Nek. Betul apa yang dikata
Nenek. SD saja Uji belum mampu, apa lagi sampai sekolah di gedung itu. Coba
bapak dan ibu masih di sini bersama kita, pasti Uji seperti mereka. Memakai
seragam yang rapi dan menyandang tas dengan bukunya setiap pagi. Senang hati
Uji, Nek. Kemudian hari, kita tak akan jadi pengemis lagi. Iya kan, Nek?”
Nenek itu tersenyum haru sekalian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Pelan-pelan menyeka air matanya yang baru
meluap begitu saja.
“Betul, Nak. Tapi apa pun yang
terjadi, ini sudah takdir Yang Maha Kuasa, Nak.” sembari membalut lagi basah
yang di pipinya. “Kita lanjut dulu ya? Biar kita cepat sampai di rumah.”
***
Seiring waktu semakin petang dan
dingin, mereka pun tiba di sebuah perkampungan yang hanya beberapa kaki dari
jalan raya. Sebuah kempung yang dikenal komunitas pinggiran yang hanya sekitar
60 penghuni dengan rumah yang rata-rata sangat sederhana, rinsek dan berdinding
tambalan.
Tak terkecuali,
tempat tinggal Bu Imah berteduh di sebuah gubuk kecil yang memuat tiga orang
dewasa, bertabir triplek, kardus dan bertumbal koran. Atap terdiri dari jerami
dan ilalang. Memasak-masak cukup di luar saja.
Namun malam ini, rupanya kampung
sedang dilanda musibah. Orang-orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk
berpindah tempat.
“Ada apa, Nek?” tanya Uji penasaran.
“Nenek juga belum tahu ada apa?”
Lalu, mereka mendekati beberapa
warga yang sedang berkerumun yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Ada apa, Nak?” tanya nenek tak sabar
ingin cepat tahu.
“Kita harus mengosongkan tempat ini,
Bu Imah,” jawab di antaranya, “Besok pagi, rumah kita akan diratakan sama
polisi.”
Bu Imah kaget dan tak berkata apa
pun selain menggigit bibirnya yang terlihat gosong. Matanya yang semakin cekung
menatap sang cucu yang masih tak mengerti soal apa-apa. Air matanya
lambat-lambat berjatuhan membasahi wajahnya yang mulai berkerut. Namun, apa pun
sikap anggota berseragam besok pagi memang harus ia terima. Bu Imah sadar,
kelau dirinya memang tak punya apa-apa lagi selain tanah yang pernah diratakan
juga sebelum itu. Sanak famili pun tak tahu ke mana jejaknya setelah terpisah
beberapa tahun silam. Begitulah kesalahan kurang kepedulian terhadap tali
silaturrahim, selagi masih ada kesempatan hingga waktu terhalang usia dan
keadaan.
Bu Imah dan Uji kembali melangkah ke
arah rumah mungilnya yang terakhir kalinya mereka tempati. Bu Imah tak tertarik
dengan kesibukan orang-orang di sekitarnya. Memang barang-barang yang ia punya
tidak terlalu banyak dan tidak menyulitkan perjalanan nanti. Pernah memiliki
barang-barang yang cukup di saat keluarganya masih ada. Namun, setelah
kepergian mereka, barang-barang itu pun habis dibuat mebiayai bekal hidupnya.
Mencoba cari kerja kesana kemari, tak juga semudah yang ia bayangkan. Ingin
membuka usaha, juga tak punya modal yang cukup.
Mereka berbaring di tempat tidurnya
yang beralaskan tikar yang sudah rusak dan rapuh. Berselimut angin malam dan
nyamuk-nyamuk jahat. Di luar sana, terlantang bunyi kodok dan belalang yang seolah
memberi salam perpisahan malam itu.
Namun, kedua bola matanya tak mudah
lelap seperti biasanya. Mungkin, sebab pikiran terlalu berkalangkabut. Dimana
tempat berteduh untuk besok malam? Masih adakah tempat yang baru? Bagaimana
jika tak juga mendapatkannya? Bagaimana bila hujan?
“Nek …!” Uji menyapa dalam
keheningan. Bu Imah pun cepat meninggalkan lamunan.
“Apa, Sayang?”
“Kalau kita diusir dari tempat ini,
kita akan tinggal dimana, Nek?”
Bu Imah bingung bagaimana
menjawabnya, “Nenek belum tahu besok tinggal dimana?”
“Kenapa kita diusir, Nek? Apa salah
kita? Bukankah kita sudah susah, Nek?”
“Iyaaa … memang tempat ini bukan
milik kita. Sekarang saatnya mereka pakai.”
“Untuk pakai apa, Nek?”
“Mungkin, untuk bikin kantor. Atau
…, apalah yang menjadi kepentingan mereka.”
“Kita tak penting bagi mereka ya,
Nek?”
“Kita siapa, Nak? Kita bukan pejabat
atau orang yang bermodal, yang selalu diistimewakan.” Bu Imah tarik nafas
dalam-dalam. “Mau tak mau, kita harus jalani penuh syukur.”
Mereka bergeming.
***
Pukul delapan tiga puluh menit,
pasukan berseragam itu merapat di lokasi bersama robot pemusnahnya. Ibu Imah
dan Uji masih berdiri dari kejauhan. Memang, mereka berniat tak ingin pergi
sebelum eksekusi selesai.
Satu per satu rumah rakyat kecil itu
habis merata. Debu-debu beterbangan ke udara. Beberapa orang yang masih ingin
tetap mempertahankan rumahnya itu dipaksa meninggalkannya tanpa ampun.
Bu Imah hanya menatap pasrah. Tak
terhitung berapa butir air matanya terjatuh membasahi wajahnya. Begitu pun,
isak tangis Uji tersedu-sedu haru.
Kemudian, Bu Imah
dan Uji dengan gontai meninggalkan kampung yang sudah rata itu.
“Tunggu sebentar, Bu!” seorang
anggota berjalan cepat mendekati dimana mereka berada. Bu Imah dan Uji berdiam
menatapnya getir. “Kalian tak perlu kemana-mana lagi. Tinggal bersama kami di
rumah. Kebetulan, di rumah kami hanya bersama isteri yang merindukan seorang
anak. Kata dokter, dia tidak bisa mempunyai keturunan. Bagaimana?”
Bu Imah dan bocah kecil itu beradu
pandang bahagia.
***
Terima Kasih Telah Berkunjung
Jika mengutip harap berikan link DOFOLLOW yang menuju pada artikel Penghuni Pinggiran ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatian anda
Jika mengutip harap berikan link DOFOLLOW yang menuju pada artikel Penghuni Pinggiran ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatian anda
0 Response to "Penghuni Pinggiran"
Posting Komentar