Isyarat Tuhan
Setiap saat, aku
datang ke tempat ini, di tepian ombak yang bergelombang menabrak karang dan
pasir menyisir. Tak jarang jua menumpahkan seluruh bungkusan amarah yang
terpendam dalam kalbuku dan berteriak histeris seperti orang sinting. Ya, Rab!
Kapankah kau akan mengakhiri semua cobaan ini! Begitu kata gumamku selalu.
Sesaat kemudian, aku
kembali melanjutkan langkahku gontai, memulung bekas-bekas sampah di berbagai
tempat, hingga sepulangnya nanti bibiku, Marni tak akan memarahi atau
menyiksaku.
Dialah saudari kandung ayahku,
perempuan janda yang telah memungutku sewaktu aku masih berusia 7 tahun. Saat
itu, suaminya beserta ayah dan ibuku yang lagi
mengejar impian mengumpulkan banyak duit di ibu kota, ternyata hanya mengantar kematian
di atas gerbong kereta api yang terjungkal sebab kecelakaan
di jembatan sebuah kampung pedalaman di jawa tengah.
Namun, seumur hidup ini, bibiku seolah
menjadi termusuh dalam hidupku. Dia memeliharaku
selama tujuh
tahun tanpa berbelas kasih
sayang. Tidak menyekolahkanku sebagaimana
anak-anak seumuranku. Padahal sesungguhnya, aku punya cita-cita setinggi langit biru.
Hari itu, ketika sang mentari seakan menguliti
badan, aku
pulang dengan sekarung sampah-sampah bekas yang kutaruk di punggung. Kudapati bibi di rumah sedang
menggosok kuku kaki kirinya di atas kursi kayu. Pelan namun pasti, aku berlalu
setelah meletakkan rongsokan di samping rumah.
"Heh! Lepas ini kamu harus nyuci
semua pakaian Bibi!" katanya nada kasar. Dan, aku
sudah terlalu hapal dengan suara itu. Seandainya, aku melihat wajahnya,
pastilah kudapati bulatan mata seperti gerhana matahari dengan celoteh yang maha dahsyat.
***
Setiap kala semarak bunyian ayam
kampung sebagai tanda telah sepertiganya malam, walau kian pekat dan dinginnya
pagi, aku bangkit dari perebahanku demi bertandang
ke sebuah masjid yang tak jauh dari rumahku. Di sanalah, aku
menumpahkan seluruh isi hatiku kepada Tuhan sesudah salat
tahajud. Kemudian, mengalunkan sederet demi sederet ayat-ayat
suci al-Qur'an hingga subuh tiba.
Lambat-lambat, masjid itu pun sesak oleh jamaah yang berdatangan. Alangkah tentram batinku berada di tempat yang penuh rahmat ini. Namun, betapa sedih begitu mengingat bibiku yang sama sekali tak pernah membasuh muka dengan air wudhu’ dan salat lima waktu, apalagi
datang ke masjid. Bibi lebih mengutamakan dunia daripada
akhirat.
Pagi itu, aku sesekali tak langsung pulang.
Entah begitu kuat hati tergerak untuk meminta bantuan sang imam masjid mengenai
persoalan hidupku di rumah. Aku duduk di dekat pintu seraya memandang sang
mentari mengintip dari ufuk timur. Alunan burung bernyanyi menemani
kesendirianku. Begitu gemeresak kaki terdengar mendekat, aku berdiri.
"Pak kiai ...,"
aku merasa ludahku tiba-tiba mengering di tenggorokan.
Kiai Ramli berhenti. "Kamu belum pulang, anakku?
Aku geleng-geleng. "Sudikah ... sudikah ... sudikah
kiranya Kiai membantu saya?"
Lelaki berjenggot ubanan itu tersenyum. "In syaa Allah, anakku. Memangnya, apa yang bisa saya bantu?"
"Saya ... saya tak betah tinggal di rumah, Kiai!"
aku tak mampu menahan kepedihan di hati. Air mataku jatuh. “Saya ingin pergi jauh!”
"Loh ...! Kenapa kamu tiba-tiba mau minggat dari rumah, Nur? Bukankah selama ini kamu biasa-biasa saja tinggal di sana?"
"Bagaimana saya betah, Kiai, jika bibi sering menyiksa
saya? Setiap pulang pergi saya berkeja, ia selalu mencaci maki saya. Bahkan,
tak jarang dia memukul saya dengan ranting kayu. Tak jarang pula, ia menjambak
rambut saya! Saya tak tahan hidup di rumah, Kiai!”
"Sabarlah, anakku. Bibimu
itu pengganti
orang tuamu. Orang tua sering
memarahi dan menindak anaknya yang berbuat salah itu wajar.”
“Apa harus dengan cara kekerasan, Kiai?”
“Setiap orang punya cara sendiri untuk
mendidik, anakku.” Guru ngajiku itu tarik napas. “Sudahlah, kamu tak perlu berpikir kurang baik. Pasrahkan saja kepada
Yang Maha Kuasa." Lelaki senja itu langsung menutup pintu. “Kita pulang
ya?”
Aku berangguk getir.
Aku pulang terlambat. Biasanya, aku sudah ada
di rumah sebelum matahari terbit, lalu membuat sarapan pagi. Tak sempat diam
sejenak, aku berangkat mencari rongsokan di mana tempat.
"Kesini kamu!!" tangan
bibi melambaikan tangannya. Hambat-hambat, aku mendekatinya tanpa mendongak. "Kenapa kamu tak cepat pulang, hah?!" diam-diam, aku
menepis tangan bibi yang telah menyentuh telingaku.
"Oh! Kamu sudah berani melawan, hah!!"
Plakkk ...!!!
Tamparannya mendarat mengundang seribu kunang-kunang. Belum puas, ia
menarik tanganku kuat-kuat hingga di kamarku. Aku disekap di
kamar seluas tiga kali empat meter itu dengan pintu terkunci. Sayup-sayup, di luar sana, masih terdengar suaranya mengoceh, kalau
aku dilarang keluar kamar hari ini.
Ya, Allah! Hamba tak kuat! Begitu
dalam isak tangisku penuh pasrah. Dalam
kemelut, ayah dan ibuku menyusul kemari melintas digaris bayang-bayang yang
amat semu, seolah mereka meraihku dan membelai rambutku dengan lembut. Tapi apa? Itu hanya sebuah hayalan. Air mataku membentuk sungai di wajahku yang semakin kurus.
***
Berjalannya sang waktu ke waktu yang
begitu terasa setahun, akhirnya kulihat sorot-sorot lentera kecil lewat celah-celah dinding bambu kamarku. Hari
mulai berteduh di ufuk barat. Pintu masih terkunci. Perut terasa kosong.
Seharian belum dikasih makan. Salat dzuhur dan ashar belum kutunaikan. Hati
sangat gelisah.
Semakin lama, kamarku menjadi gelap gulita.
Tak ada lampu penerang. Lampu di kamar tak bisa dinyalakan. Sambungannya sudah
diputus. Di luar sana, bunyi semilir angin berpacu dengan percakapan dua orang. Aku hapal suara bibi berbicara dengan
seseorang. Entah dengan siapa gerangan?
"Tolooong! Tolooong! Tolong
bukakan pintu, Bi! " aku berteriak sambil
menarik-narik pintu yang masih terkunci. Namun, perbincangan
tadi tiba-tiba menghilang. Mungkin, lawan
bicara sudah pergi.
"Buka, Bi, buka …!" aku melanjutkan berteriak.
"Heh! Jangan berisik!!"
bentak bibi di balik pintu kamarku. Tubuhku
yang lemah kembali jatuh bersimpuh bersama isak tangis yang kembali jadi,
sembari menyebut asma Allah berulang kali dan doa-doa agar bisa menemukan
keajaiban malam ini.
Setelah beberapa banyak mengeluarkan
air mata, terdengar suara
nyaring sekumpulan orang yang semakin
mendekati halaman rumah:
"Saudara-saudara ...!
Kita berantas
penindas anak-anak di kampung kita! Setuju!"
lantang seseorang
dari mereka.
"Setuju ...!"
gegap mereka.
"Nah, itu dia orangnya!"
"Tangkap dia!"
"Serahkan ke polisi!"
"Tidak usah! Yang
penting, anak
itu aman!"
tegas yang lain.
"Heh! Apa-apaan
ini!" teriak bibi mengalahkan teriakan orang-orang itu.
"Kami hendak menyelamatkan anak itu!"
"Apa hak kalian?!"
"Kami berhak atas nama
kemanusiaan dan hukum perlindungan anak dari kezdaliman!"
"Sudahlah, kawan-kawan!
Percuma kita ngomong dengan orang gila ini! Kita langsung
terobos saja rumahnya. Kita bebaskan anak itu
di dalam!" tegas yang lain.
"Setuju!"
Dalam waktu singkat, mereka berhasil membuka
pintu. Lampu listrik yang bergantung di tengah emperan langsung menerobos pintu
kamar. Diriku bagaikan terlepas dari dunia yang teramat sempit. Tapi, kaki dan
tangaku sedikit gemetar. Langkahku serasa berat dan kaku. Aku beri tahu mereka
bahwa perutku belum terisi makanan seharian. Semua orang terlihat kaget dan
geleng-geleng kepala.
Oleh dua orang, aku digotong ke rumah Kiai
Ramli. Tampaknya, di rumah sang guru ngajiku itu sudah banyak yang menunggu. Aku
diletakkan di sofa empuk. Dua orang itu lalu menceritakan keadaanku sekarang.
Tiba-tiba, perempuan yang duduk di sebelah kiai meninggalkan tempat duduknya.
“Makan dulu ya,” istri Kiai Ramli kembali ke
ruang tamu itu, duduk di sebelahku dengan sepiring nasi.
Dalam kondisi apa pun, aku harus melahap
makanan itu, untuk memulihkan energi badanku.
"Tadi, Kiai
cerita sama
Nyai, tentang kamu,” lanjut perempuan berjubah
hijau itu. “Makanya, Nyai
langsung ke rumah kamu, sekadar ingin memastikan keadaan kamu
di sana.
Tapi, Nyai tak jadi
tinggal berlama-lama pas ada yang berteriak
minta tolong di dalam rumah. Nyai langsung
pulang untuk meminta beberapa orang datang ke sana. Tapi, di luar dugaan, yang datang malah
banyak."
"Dan mulai sekarang,” sambung lelaki berjenggot uban di seberang
meja, “kamu boleh tinggal bersama kami. Tapi, dengan satu
syarat, kamu harus memenuhi keinginan kiai. Apa kamu sanggup?"
Aku berhenti mengunyah sejenak. Agak tak
percaya mendengar penuturan itu. Dalam denyut jantung yang sangat cepat, hatiku
sangat senang. Ingin langsung berbicara, tapi mulut terlalu banyak makanan.
Kupungut segelas air di hadapanku, sebelum mulutku meluncurkan sesuatu,
“Apa pun syarat itu, saya siap, Kiai, asal
jauhkan saya darinya.”
“Kalau begitu, nanti ikut kiai ke pesantren.
Kamu tinggal di sana.”
Sekali lagi, aku mengangguk.
***
Sebulan kemudian, aku mendapat kabar dari orang kampungku,
bahwa bibiku
meninggal gantung diri di atas pohon halaman rumahku. Ia ditemukan salah
seorang warga yang sedang
lewat. Hatiku terkesiap. Air mataku tiba-tiba terjatuh. Perasaan
di antara benci dan kasihan. Serasa kehilangan orang yang membenci sekaligus
membesarkanku. Aku tetap
memaafkannya.
***
Terima Kasih Telah Berkunjung
Jika mengutip harap berikan link DOFOLLOW yang menuju pada artikel Isyarat Tuhan ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatian anda
Jika mengutip harap berikan link DOFOLLOW yang menuju pada artikel Isyarat Tuhan ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatian anda
0 Response to "Isyarat Tuhan"
Posting Komentar