Kepergian Aktifa



Aku kira gadis yang satu ini jauh lebih berbeda dari gadis yang pernah aku lihat. Wajahnya bersih bersinar bak rembulan. Dua lensanya yang agak kecokelatan bak matahari mekar. Hidungnya semancung campuran arab dan jawa. Bibirnya merah jambu seperti selalu basah. Oh, sungguh luar biasa cantiknya. O, bukan, bukan cantik yang itu maksudku. Aku malah kurang tertarik dengan rupa itu sebenarnya. Aku jurstru sudah jemu dengan wajah cantik yang dimiliki oleh sejumlah gadis yang pernah aku lihat. Melainkan, aku tertarik dengan wajah yang sesungguhnya. Di mana wajah itu selalu dibasahi air wudu, kedua matanya yang selalu dibiarkan berlarut dalam ayat-ayat suci Alquran atau sebuah buku keislaman, hidungnya yang selalu dibiarkan menyentuh sajadah, bibirnya yang selalu dibiarkan tersenyum dan berkata-kata baik. Begitulah yang aku lihat keseharian gadis itu di sini, di sebuah universitas di Jogja. Apakah aku telah jatuh cinta? Iya, sudah pasti aku menamainya jatuh cinta. Siapa yang tak jatuh cinta kepadanya. Langit dan bumi pun jatuh cinta kepadanya bahkan.
Aktifa Naila, mahasiswi pindahan dari sebuah Universitas di Jakarta, Fakultas TI, semester empat, penghuni asli Jogjakarta. Dia baru tiga bulan bergelut di kampus ini. Begitulah keterangan mahasiswi sejurusanku yang sempat tahu menahu soal dia saat itu.
“Kamu naksir?” kata yang satu berjilbab tapi datar kelakuannya.
“Ngaca dulu,” yang satu lagi suka berketus.
“Selain cantik, dia alim loh,” eh, yang suka pamer rambut lurus juga menakut-nakutiku.
Lalu, mereka segera berlalu saja, membiarkanku terkungkung sendirian di ruangan itu. Aku pikir, benar kata mereka. Siapa sih aku ini? Jika hanya bermodalkan cinta, ketampanan, postur maco dan intelek, mana cukup. Aku yakin itu tak berlaku baginya. Memang, semua itu sudah kumiliki untuk se-Fakultas Ekonomi. Tapi, jiwa ini, oh, alangkah tak sebanding dengan kelebihan yang aku miliki tersebut. Aku rasa jiwa ini penuh lumpur dan gelap gulita. Jangankan membaca kebaikan, salat pun jarang kulakukan. Meski terkadang salat, itu pun kalau sedang ada kesulitan. Nasib baik status agama KTP-ku masih tercatat islam asli. Jika tidak, mungkin bisa lupa akan agamaku yang sebenarnya. Iya, sudah dipastikan demikian. Sebab, kehidupanku hanya dipenuhi dengan hura-hura kemaksiatan. Aku tidak penduli perbuatan dilarang agama. Aku merasa hidup ini akan kekal. Aku merasa hidup ini tak akan ada kematian dan tak akan ada balasan setelah kematian.
Aku senang di saat melihatnya. Agar bisa melihat sang bidadari, hampir setiap hari aku berada di sekitar fakultas TI. Dimana ia berada, pastilah aku berada di sana. Tapi, aku takut mendekati dan menyapanya. Terlalu alim bagiku. Diam-diam, aku memandanginya dari jauh. Setiap kali aku melihatnya, mengapa hati ini merasakan ada satu getaran yang teramat berbeda. Damai rasanya. Tak salah milih mataku terpaut dengan gadis pengabdi Tuhan itu.
Pada suatu hari, di saat ia tenggelam dalam sebuah bacaan ayat di sudut taman itu, kulihat bulir-bulir air mata mengalir di pipinya yang kian halus berkaca-kaca. Apakah dia sedang kesusahan? Iya, aku rasa demikian. Aku yakin dia patah hati. Sudah tentu satu kesempatan bagiku untuk mencari perhatiannya. Akhirnya, aku keluar dari tempat persembunyianku. Laiknya seorang pahlawan yang hendak menyelamatkan hatinya, aku ambil duduk di sebelahnya. Hanya sebentar, ia pun melirik tanpa merasa terganggu. Dia melanjutkan bacaan, aku sabar menunggu. Tidak lama kemudian, dia mengatup Alquran sebesar dompet itu.
“Barusan …,” di tengah detak-detak jantungku berpacu, aku menyapanya sok akrab, “aku tak sengaja melihatmu dalam kesedihan. Adakah kau sedang punya masalah?”
Dia tersenyum tipis. Subhanallah, manis sekali senyumnya. Lalu, dia berkata, “Bagaimana tidak sedih, Mas, bila setiap kali aku membaca ayat-ayat suci Alquran ini, rinduku kepada-Nya demikian menikam batin ini. Batin ini terpanggang oleh bara kerinduan.” Ia lalu menyeka sisa basah di tepi kedua lensanya.
“Dia kekasihmu?”
Dia geleng-geleng. “Bila jiwa ini penuh kotor dunia, apakah aku pantas menjadi kekasih-Nya? Jauh aku bukanlah siapa-siapa bagi-Nya, Mas.”
“Lalu …, siapa dia?”
“Dia, Mas, adalah Zat yang menciptakan kita, Zat yang menyayangi kita, Zat yang wajib kita sembah. Dialah cinta yang sesunguhnya. Sesungguhnya, Dia teramat sangat mencintai dan menyayangi kita, tapi kitalah seolah mengabaikan akan cinta dan kasih sayang yang Dia berikan. Bila membayangkan ketika kita pernah mengabaikan bukti cinta-Nya, hati ini rasanya sakit sekali, Mas. Berapa banyak tanda cinta yang telah Dia anugerahkan kepada hamba-Nya, tapi hamba-Nya terlalu melupakan-Nya. Mereka terlalu sibuk akan duaniawi dan hawa nafsunya.”
Sungguh mendadak batinku begetar-getar. Peluh dingin pun mulai memecah dari dahiku. Makna dari kata-kata tersebut membuat hatiku seolah tersadar akan diriku. Iya, aku melihat jelas akan kekelaman yang menggumpal di dalam diriku. Aku sungguh telah terpukau akan hati seorang hamba Allah yang telah merindukan Tuhannya. Ternyata, dia bukanlah sekadar seorang perempuan, tapi gadis pilihan. Dia tak hanya cantik rupanya, tapi juga cantik dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku masih berhasrat berbicara banyak dengannya, tapi dia lebih dulu pergi.
“Aku pergi dulu ya, Mas. Sudah waktunya masuk kuliah.”
***
Hingga pada malamnya, ucap kalimat Aktifa masih terngiang-ngiang di kepalaku. Kata-kata itu masih tergetar-getar di batinku. Bila mengingatnya, aku seakan jengah dengan diriku. Aku seorang lelaki, tapi jiwaku lebih dari seorang banci. Mengapa aku tak mampu melawan hawa nafsuku, sehingga menjauhkan diri dari Tuhanku? Begitu mendengar ucapan tadi, hatiku seakan menemukan cahaya cinta di ujung sana. Hatiku seakan terdorong satu keinginan yang begitu kuat untuk meraihnya. Hatiku ingin lebih dekat dengan Tuhan dan juga dengan seorang hamba-Nya. Aku merindukan Tuhan dan juga merindukan seorang hamba-Nya. Namun, pantaskah aku merindukan-Nya bila jiwa ini demikian penuh dosa. Aku seorang hamba-Nya yang jauh di dalam dosa dan kesombongan. Pantaskah aku mencintai hamba-Nya tersebut bila hati ini terkotori oleh hawa nafsu? Aku hanya lelaki egois yang selalu menjauhkan diri dari Robku. Sedangkan dia adalah gadis yang sangat dekat dengan cahaya Tuhan. Oh, kemana hatiku selama ini?
Tubuhku kemudian tersungkur sujud di lantai telanjang dengan air mata merembah. Aku beristigfar yang kesekian bannyaknya. Aku ingin bertaubat. Terimalah taubatku, Tuhan.
Suatu hari kemudian, aku mengunjungi seorang ustaz. Aku bercerita kepada ustaz tentangku. Aku memintai pendapat beliau. Aku meminta bimbingan beliau.
“Kau masih punya kesempatan, Anakku,” bijak ustaz nyaris senja itu. “Bertaubatlah sebelum kematian menjemputmu.”
“Bila saya pun begitu mencintai gadis itu, adakah cinta saya kepada Allah mengandung kemusyrikan, Ustaz?”
“Tidak, Anakku. Bila kau mencintainya karena Tuhanmu, berarti kau telah mencintai Tuhamu. Sebab, perbuatan mengasihi sesama adalah perbuatan Rasulullah, Anakku. Dan, jika siapa mengikuti perbuatan Rasulullah berarti ia mencintai Tuhannya. Sebagaimana dalam Firman Allah yang artinya: Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mengasihi Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’[1] Semoga kau memahaminya, Anakku?”
Aku manggut-manggut.
Pada hari-hari berikutnya, aku pelajari kembali tentang ketaatan kepada Robku. Kuserahkan jiwa ragaku kepad-Nya. Aku luangkan waktuku dengan beribadah kepada-Nya. Kuresapi setiap kalimat-kalimat kesucian di nadiku. Iya, betapa aku merasakan akan perubahanku. Hati ini jauh lebih tentram bak di alam surga. Inilah cinta yang sesungguhnya. Iya, aku telah menemukan kedamaian sekarang.
“Mas …,” sapa gadis spesialku semenjak dua tahun lalu. Dia mahasiswi akuntansi, setingkat denganku, semester 6. Sama berasal Surabaya. Dia cantik memang, tapi itu dulu.
Untuk sesaat, aku meninggalkan lembaran sebuah buku kesufian. Aku menyahuti gadis dengan agak terpaksa,
“Ada apa, Dine?”
“Kenapa tiba-tiba kau berubah drastis gitu sih, Mas?”
“Aku tetap kok. Lihat ….” aku menunjukkan wujudku, “masih sama, ‘kan?”
“Gak lucu tahu?!” wajahnya tambah mengerut. “Kenapa sih belakangan ini kau tak peduli lagi denganku? Ditelpon jarang diangkat. Diajak malam mingguan gak pernah mau. Diajak jalan-jalan, apa lagi. Ada apa sih, Mas? Kau sudah tak sayang lagi sama aku?”
Aku terdiam. Aku bingung.
“Kenapa diam sih, Mas? Jawab dong ah!”
“Maafkan aku, Dine. Aku tak bisa melanjutkan hubungan kita.”
“Apa …?!” dua mata indah Adine merembah
Aku berangguk dengan hati berat. Ya, mau bagaimana lagi jika hati ini memang sudah ada cahaya lain.
“Kenapa, Mas? Ada orang lain di hatimu?!”
“Aku bukan Gagak yang dulu lagi, Dine. Maafkan aku.”
“Kau kejam, Mas!” lantas dia berkelebat menyibak pemandangan taman kampus dengan tangisnya.
Seiring hati yang teramat kasihan, mataku berlinang-linang, tapi tak bisa memandang Adine lagi layak dulu masih cantik. Di hatiku saat ini, hanya ada Allah dan seorang hamba-Nya yang bernama Aktifa. Tapi, aku sudah agak lama tak melihat Aktifa. Semenjak saat itu, aku telah berjanji tak ingin bertemu Aktifa hingga nanti aku siap melamarnya. Sebenarnya rindu memang, tapi biarlah rindu menggundah jiwaku dami kesucian cintaku kepadanya. Aku percaya bahwa cinta sebenarnya adalah menjaganya dari hasutan hawa nafsu.
“Gak …!” suara lain berhempas kemudian.
Aku mendadak menoleh ke sebelah kiri. Sahabat kuliahku tergopoh-gopoh mendekatiku. Aku hanya menatapnya yang penuh gelisah.
“Cewek itu, Gak …!” lanjut Aliyan dengan nafas mengap-mengap. “Cewek itu kecelakaan!”
Pikiranku langsung melihat Adine. “Adine …?”
Dia geleng-gelang. “Aktifa, Gak.”
Reflek aku langsung mengajak Aliyan menuju TKP yang tak jauh dari kampusku. Tapi sayang, aku sudah terlambat. Aku hanya melihat sisa simbah darah di jejak langit pagi. Begitu juga metik yang telah ringsek mengerikan.
“Korban tadi dibawa ke arah mana ya, Mas?” aku bertanya pada seseorang.
“Ke arah RSUD, Mas.”
Kami bergegas menancap gas motor kembali.
Kemudian ….
Setelah demikian bersabar di ruang tunggu dalam sekian lama, kabar buruk telah mengoyak batinku. Kata pihak rumah sakit, Aktifa sudah meninggal dunia.
Innalillahi wainnailaihi rojiun!
 Dadaku sesak. Tubuhku lemas. Aku terduduk dengan jiwa tak berdaya. Air mataku merembah tak terbendung. Aku benar-benar kehilangan seorang aktifa sekarang.
“Gak …!” Aliyan menyentuh bahuku dengan hati-hati. “Ini sudah jalan takdir, Gak. Seperti yang kau pernah bilang padaku, bahwa kehidupan ini selalu berdampingan dengan takdirnya. Ikhlaskanlah kepergiannya.”
Aku hanya berangguk.
***
Sudah lebih dua tahun berlalu, bayang-bayang Aktifa masih hidup menari-manari di benakku. Senyum manisnya masih terangan-angan di pikiranku. Kata-kata lembut yang terakhir aku dengar masih terbaca di kepalaku. Yang paling aku ingat kata-katanya,
Bagaimana tidak sedih, Mas, bila setiap kali aku membaca ayat-ayat suci Alquran ini, rinduku kepada-Nya kian menikam batinku. Batin ini terpanggang oleh bara kerinduan.
Inilah kenangan yang membuatku takut memilih pengganti Aktifa di hatiku. Sosok seperti Aktifa rasanya begitu sulit aku temukan. Aktifa seolah cinta terakhirku.
“Gagak …!” suara mamaku menembus daun pintu kamarku.
“Iya, Ma …!”
“Ayo, kita segera siap berangkat. Nanti terlambat macet loh.”
“Baik, Ma …!”
Aku, mama dan sopir pribadi menuju Stasiun Gubeng. Aku lebih suka naik kereta memang. Tapi, bukan mereka yang mau pergi tentunya. Akulah yang mau pergi sebenarnya. Dan, alhamdulillah perjalanan kami mengalir lancar.
Di ruang tunggu, aku langsung mencari tempat duduk. Di sela-sela mataku menyebar, terlihat seorang perempuan berhijab tengah tertunduk membaca Alquran di sudut depan. Cara perbuatannya membuat hatiku teringat Aktifa. Oh, sungguh aku merindukan almarhumah. Siapa perempuan itu? Hatiku demikian tertarik untuk mendekatinya.
Dia mirip seseorang ternyata. Aku tidak percaya kalau dia Adine. Ah, tidak mungkin dia Adine. Paling cuma mirip. Adine tak suka berhijab. Adine anti hijab. Dia pernah bilang, berhijab itu bikin badan gerah dan ribet. Apalagi suka membaca Alquran.
Aku duduk di sebelahnya tanpa mengganggu. Seiring itu, aku teringat nomer hape Adine. Aku mengotak-atik nama Adine di hapeku barangkali masih ada.
“Mas Gagak …?” suara lembut meresap di telingaku.
Yang benar saja suara itu menyebut namaku. Aku tak pernah menduga kalau akhirnya gadis itu mengenaliku. Aku menoleh tercengang tak percaya kalau dia benar-benar Adine, mantan pacarku. Tapi, kata-kataku begitu tercekat di tenggorokanku.
“Aku Adine, Mas. Lupa ya?” dia tersenyum masih seperti dulu. Senyum itulah yang meyakinkanku.
“Aku gak pernah lupa, Dine. Cuma, aku kurang mengenalimu semenjak tadi. Aku bangga kau sudah berubah.”
Alhamdulillah, Mas. Ini juga berkat kalian, Mas.”
Aku mengerutkan kening. “Kalian …? Maksudmu …?”
“Setelah kau mutusin hubungan kita, aku jadi penasaran dengan perubahanmu. Diam-diam, aku mencari tahu tentangmu. Ternyata kau jatuh cinta dengan gadis berjilbab itu. Karena gadis itu, kau merubah segala sikapmu. Awalnya, aku sangat geram dan cemburu buta. Aku ingin sekali menghancurkan cinta kalian. Tapi ternyata, hatiku berbicara lain akhirnya. Tambah hari aku memperhatikan cara kalian, entah mengapa batinku pun merasa tersentuh untuk meniru dunia kalian. Seakan ada satu panggilan di hatiku untuk melakukannya. Ya, dari situlah kuputuskan mengubah hidupku.”
“Aku tak pernah melihatmu saat itu?”
“Nah, setelah keputusan tersebut, aku pun memutuskan pindah kuliah ke Surabaya. Aku merasa lebih aman hidup bersama keluargaku di sana.”
Hatiku terpana. “Sekarang, kau niatan kemana?”
“Aku ingin melanjutkan S2 di UI, Mas.”
“Oya,” aku tambah semangat, “aku juga mau ambil S2 di kampus itu loh.”
Subhanallah, kita sama ya, Mas?”
***
Setelah pertemuanku dengan Adine, hati ini seakan bangkit kembali. Aku merasa ada cahaya Tuhan dan wajah Aktifa di tubuh Adine. Dia selalu terngiang di pikiranku. Iya, aku tak bisa menyangkalnya. Setiap saat aku digelisahkan oleh bayangannya. Aku rasa telah jatuh cinta dengan sosok Adine yang sekarang ini.
Wahai gadis yang telah dikaruniai kebaikan, demi Zat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sudikah kiranya kau menjadi makmum dalam setiap salatku? Aku kirim pesan singkat malam itu.
Atas Zat Yang Maha Pemberi Rahmat, sudah terlalu lama aku merindukan seorang imam sepertimu, wahai lelaki saleh.
***
                                                                   Tamber, 24 Januari 2015



*Cerpen ini pernah ikut terbit bersama kumcer "Menikahlah dengaku: particle of love", nubar 2016, dengan atas nama penulis: Airi Altairaksa


[1] Qs. Âli ‘Imrân: 31

Terima Kasih Telah Berkunjung
Jika mengutip harap berikan link DOFOLLOW yang menuju pada artikel Kepergian Aktifa ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatian anda

0 Response to "Kepergian Aktifa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel