Isyarat Tuhan
Pixabay |
Sesaat kemudian, aku kembali
melanjutkan langkahku gontai, memulung bekas-bekas sampah di berbagai tempat,
hingga sepulangnya nanti bibiku, Marni tak akan memarahi atau menyiksaku.
Dialah saudari kandung ayahku, perempuan janda yang telah
memungutku sewaktu aku masih berusia 7 tahun. Saat itu, suaminya beserta ayah
dan ibuku yang lagi mengejar impian mengumpulkan banyak duit di ibu kota, ternyata
hanya mengantar kematian di atas gerbong kereta api yang terjungkal sebab kecelakaan
di jembatan sebuah kampung pedalaman di jawa tengah.
Namun, seumur hidup ini, bibiku
seolah menjadi termusuh dalam hidupku. Dia memeliharaku
selama tujuh tahun tanpa berbelas kasih sayang. Tidak menyekolahkanku sebagaimana anak-anak seumuranku. Padahal sesungguhnya, aku punya cita-cita
setinggi langit biru.
Hari itu, ketika sang mentari seakan menguliti
badan, aku pulang dengan sekarung sampah-sampah bekas yang kutaruk di punggung. Kudapati bibi di
rumah sedang menggosok kuku kaki kirinya di atas kursi kayu. Pelan namun pasti,
aku berlalu setelah meletakkan rongsokan di samping rumah.
"Heh! Lepas ini kamu harus nyuci semua pakaian Bibi!" katanya
nada kasar. Dan, aku
sudah terlalu hapal dengan suara itu. Seandainya, aku melihat wajahnya, pastilah kudapati bulatan mata seperti gerhana
matahari dengan celoteh yang maha dahsyat.
***
Setiap kala semarak bunyian ayam kampung sebagai tanda telah
sepertiganya malam, walau kian pekat dan dinginnya pagi, aku bangkit dari
perebahanku demi bertandang ke sebuah masjid yang tak
jauh dari rumahku. Di sanalah, aku menumpahkan
seluruh isi hatiku kepada Tuhan sesudah salat tahajud.
Kemudian, mengalunkan sederet demi sederet ayat-ayat
suci al-Qur'an hingga subuh tiba.
Lambat-lambat, masjid itu pun sesak oleh jamaah
yang berdatangan. Alangkah tentram batinku berada di tempat
yang penuh rahmat ini. Namun, betapa sedih begitu mengingat bibiku
yang sama sekali tak pernah membasuh muka dengan air
wudhu’ dan salat lima waktu, apalagi
datang ke masjid. Bibi lebih mengutamakan dunia daripada akhirat.
Pagi itu, aku sesekali tak langsung pulang.
Entah begitu kuat hati tergerak untuk meminta bantuan sang imam masjid mengenai
persoalan hidupku di rumah. Aku duduk di dekat pintu seraya memandang sang
mentari mengintip dari ufuk timur. Alunan burung bernyanyi menemani
kesendirianku. Begitu gemeresak kaki terdengar mendekat, aku berdiri.
"Pak kiai ...," aku merasa ludahku tiba-tiba mengering di tenggorokan.
Kiai Ramli berhenti. "Kamu belum pulang, anakku?
Aku geleng-geleng. "Sudikah ... sudikah ... sudikah
kiranya Kiai membantu saya?"
Lelaki berjenggot ubanan itu tersenyum. "In syaa Allah,
anakku.
Memangnya, apa yang bisa saya bantu?"
"Saya ... saya tak betah tinggal di
rumah, Kiai!"
aku tak mampu menahan
kepedihan di hati. Air mataku jatuh. “Saya ingin pergi jauh!”
"Loh ...! Kenapa kamu tiba-tiba mau minggat dari rumah, Nur? Bukankah selama ini kamu biasa-biasa saja tinggal di sana?"
"Bagaimana saya betah, Kiai, jika bibi sering menyiksa saya? Setiap pulang
pergi saya berkeja, ia selalu mencaci maki saya. Bahkan, tak jarang dia memukul
saya dengan ranting kayu. Tak jarang pula, ia menjambak rambut saya! Saya tak
tahan hidup di rumah, Kiai!”
"Sabarlah, anakku. Bibimu
itu pengganti
orang tuamu. Orang tua sering memarahi dan menindak anaknya yang berbuat salah itu
wajar.”
“Apa harus dengan cara kekerasan, Kiai?”
“Setiap orang punya cara sendiri untuk
mendidik, anakku.” Guru ngajiku itu tarik napas. “Sudahlah, kamu
tak perlu berpikir kurang baik. Pasrahkan saja
kepada Yang Maha Kuasa." Lelaki senja itu langsung menutup
pintu. “Kita pulang ya?”
Aku berangguk getir.
Aku pulang terlambat. Biasanya, aku sudah ada
di rumah sebelum matahari terbit, lalu membuat sarapan pagi. Tak sempat diam
sejenak, aku berangkat mencari rongsokan di mana tempat.
"Kesini kamu!!" tangan bibi melambaikan tangannya.
Hambat-hambat, aku mendekatinya tanpa
mendongak. "Kenapa kamu tak cepat pulang, hah?!" diam-diam, aku
menepis tangan bibi yang telah menyentuh telingaku.
"Oh! Kamu
sudah berani melawan, hah!!"
Plakkk ...!!!
Tamparannya mendarat mengundang
seribu kunang-kunang. Belum puas, ia menarik tanganku kuat-kuat hingga di kamarku. Aku disekap di
kamar seluas tiga kali empat meter itu dengan pintu terkunci. Sayup-sayup, di luar sana, masih terdengar suaranya mengoceh,
kalau aku dilarang keluar kamar hari ini.
Ya, Allah! Hamba tak kuat! Begitu dalam isak tangisku penuh pasrah. Dalam
kemelut, ayah dan ibuku menyusul kemari melintas digaris bayang-bayang yang
amat semu, seolah mereka meraihku dan membelai rambutku dengan lembut.
Tapi apa? Itu hanya sebuah hayalan. Air mataku membentuk sungai di wajahku yang semakin kurus.
***
Berjalannya sang waktu ke waktu yang begitu terasa setahun,
akhirnya kulihat sorot-sorot lentera kecil lewat celah-celah dinding bambu kamarku. Hari
mulai berteduh di ufuk barat. Pintu masih terkunci. Perut terasa kosong.
Seharian belum dikasih makan. Salat dzuhur dan ashar belum kutunaikan. Hati
sangat gelisah.
Semakin lama, kamarku menjadi gelap gulita.
Tak ada lampu penerang. Lampu di kamar tak bisa dinyalakan. Sambungannya sudah
diputus. Di luar sana, bunyi semilir
angin berpacu dengan percakapan dua orang. Aku hapal suara bibi
berbicara dengan
seseorang. Entah dengan siapa gerangan?
"Tolooong! Tolooong! Tolong bukakan
pintu, Bi! " aku berteriak sambil
menarik-narik pintu yang masih terkunci. Namun, perbincangan
tadi tiba-tiba menghilang. Mungkin, lawan bicara sudah pergi.
"Buka, Bi, buka …!" aku melanjutkan berteriak.
"Heh! Jangan berisik!!" bentak bibi di balik pintu
kamarku. Tubuhku
yang lemah kembali jatuh bersimpuh bersama isak tangis yang kembali jadi,
sembari menyebut asma Allah berulang kali dan doa-doa agar bisa menemukan
keajaiban malam ini.
Setelah beberapa banyak mengeluarkan air mata, terdengar suara nyaring sekumpulan orang yang semakin
mendekati halaman
rumah:
"Saudara-saudara ...! Kita berantas
penindas anak-anak di
kampung kita! Setuju!" lantang seseorang dari
mereka.
"Setuju ...!" gegap mereka.
"Nah, itu dia orangnya!"
"Tangkap dia!"
"Serahkan ke polisi!"
"Tidak usah! Yang
penting, anak itu aman!" tegas yang lain.
"Heh! Apa-apaan ini!" teriak bibi
mengalahkan teriakan orang-orang itu.
"Kami hendak menyelamatkan anak itu!"
"Apa hak kalian?!"
"Kami berhak atas nama kemanusiaan dan hukum perlindungan anak
dari kezdaliman!"
"Sudahlah, kawan-kawan!
Percuma kita ngomong dengan orang gila ini! Kita langsung
terobos saja rumahnya. Kita bebaskan anak itu
di dalam!" tegas yang lain.
"Setuju!"
Dalam waktu singkat, mereka berhasil membuka
pintu. Lampu listrik yang bergantung di tengah emperan langsung menerobos pintu
kamar. Diriku bagaikan terlepas dari dunia yang teramat sempit. Tapi, kaki dan
tangaku sedikit gemetar. Langkahku serasa berat dan kaku. Aku beri tahu mereka
bahwa perutku belum terisi makanan seharian. Semua orang terlihat kaget dan
geleng-geleng kepala.
Oleh dua orang, aku digotong ke rumah Kiai
Ramli. Tampaknya, di rumah sang guru ngajiku itu sudah banyak yang menunggu. Aku
diletakkan di sofa empuk. Dua orang itu lalu menceritakan keadaanku sekarang.
Tiba-tiba, perempuan yang duduk di sebelah kiai meninggalkan tempat duduknya.
“Makan dulu ya,” istri Kiai Ramli kembali ke
ruang tamu itu, duduk di sebelahku dengan sepiring nasi.
Dalam kondisi apa pun, aku harus melahap
makanan itu, untuk memulihkan energi badanku.
"Tadi, Kiai cerita sama Nyai, tentang kamu,” lanjut perempuan berjubah hijau itu. “Makanya, Nyai langsung ke rumah kamu, sekadar ingin memastikan
keadaan kamu di sana. Tapi, Nyai tak jadi tinggal berlama-lama pas ada yang berteriak minta tolong di dalam rumah. Nyai
langsung pulang untuk meminta beberapa orang datang ke sana. Tapi, di luar dugaan, yang
datang malah banyak."
"Dan mulai sekarang,” sambung lelaki berjenggot uban di seberang meja, “kamu boleh tinggal bersama kami. Tapi, dengan satu syarat, kamu harus memenuhi
keinginan kiai. Apa kamu sanggup?"
Aku berhenti mengunyah sejenak. Agak tak
percaya mendengar penuturan itu. Dalam denyut jantung yang sangat cepat, hatiku
sangat senang. Ingin langsung berbicara, tapi mulut terlalu banyak makanan.
Kupungut segelas air di hadapanku, sebelum mulutku meluncurkan sesuatu,
“Apa pun syarat itu, saya siap, Kiai, asal
jauhkan saya darinya.”
“Kalau begitu, nanti ikut kiai ke pesantren.
Kamu tinggal di sana.”
Sekali lagi, aku mengangguk.
***
Sebulan kemudian, aku mendapat kabar dari orang kampungku, bahwa bibiku meninggal gantung diri di atas pohon halaman rumahku. Ia
ditemukan salah seorang warga yang sedang lewat. Hatiku terkesiap. Air mataku
tiba-tiba terjatuh. Perasaan di antara benci dan kasihan. Serasa kehilangan
orang yang membenci sekaligus membesarkanku. Aku tetap memaafkannya.
***
Karya: Airi Altairaksa
Biodata Penulis
Khairi adalah nama asli penulis, kelahiran Sampang, 29 Agustus. Jenis kelamin laki-laki. Tinggal di jalan Madrasah Nurul Amin, Desa Tamberu Daya, Kec. Sokobanah, Kab. Sampang Jawa Timur. Kode Pos 69262. Email: airi.j.altairraksa@gmail.com.
Karyanya yang pernah numpang terbit adalah: Isyarat Tuhan di antologi cerpen “Penantang Mimpi”, Penghuni Pinggiran di antologi cerpen “25 Bingkisan Rasa”, Kepergian Aktifa di antologi “Menikahlah dengaku”. Dalam Bias Cahaya Bulan di antologi cerpen “Serpihan Rindu”. Bahtera Cinta Sabria di antologi “Cinta Sang Hawa”.
Juga puisi: Purnama di Gurun Sahara di antologi puisi “Merindu Rasul Dalam Sajak”, Di Bawah Jingga di antologi puisi “Eca-Moment 2”, Yang Bermata Biru Langit di antologi puisi “Surat Cinta untuk Bunda”, dan salah satu judul puisinya numpang di buku novel “Basuhan Kaki Ibu”, karya Taufiqurrahman al-Azizy.
Terima Kasih Telah Berkunjung
Jika mengutip harap berikan link DOFOLLOW yang menuju pada artikel Isyarat Tuhan ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatian anda
Jika mengutip harap berikan link DOFOLLOW yang menuju pada artikel Isyarat Tuhan ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatian anda
0 Response to "Isyarat Tuhan"
Posting Komentar