Bahtera Cinta Sabria



pixabay
Sudah genap empat bulan sepuluh hari suamiku belum juga pulang. Apa memang dia benar-benar sudah mati bersama laut biru itu? Kataku sebelum kutarik napas sedemikian dalam. Dengan penuh sesak rasa napasku, embun di pinggiran bulat mataku mencair dan meleleh di pipiku yang bertambah kurus. Kuhapus basah yang terasakan hangatnya. Sehingga, tampak jelas kembali birunya laut di depan mataku. Ombak kecil menyisir lembut ke tepian. Langit cerah memperlihatkan cahaya matahari kuning keemasan. Namun, indahnya semesta tidak mampu meluluhkan rasa batinku.
Baru dua bulan kami menikah, suamiku tiba-tiba menghilang bersama gelombang laut. Tak ada yang tahu kabar beritanya. Terakhir kami melihat senyum manis dan lambaian tangannya sebelum perahu nelayan beranjak meninggalkan sungai di sebelah rumahku. Sungai terbesar seantero pantai utara itu memang dijadikan tempat perahu bersandar sepanjang waktu. Setiap pagi, puluhan perahu berlabuh lalu kembali melepas ke tengah laut ketika sore hari. Tak terkecuali, perahu nelayan tempat suamiku bekerja.
Suamiku, Mas Alif bekerja nelayan milik tetangga dengan upah per bulan. Pergi sore, pulang pagi. Dia selalu bermalam di tengah laut berbantalkan ombak dan berselimutkan angin dingin. Setiap sore, aku rutin duduk di tempat yang sama demi menghantar keberangkatan lelaki tersayang. Begitu pun setiap pagi, aku duduk di teras rumah demi menyambut kedatangannya.
“Sabriaaa!” teriakan itu selalu pecah dari bibir Mas Alif sebelum perahu menjauh ke tengah laut dan setiba di sungai itu.
Aku membalas senyum dan lambaian tangannya. “Iya, Mas!”
Namun, suatu pagi, di saat kutunggu kedatangannya, kabar buruk tiba-tiba menohok jantungku. Perahu rombongan Mas Alif tiba-tiba tenggelam di tengah laut yang entah berapa ratus meter dari pantai. Enam penumpang pulang dengan keadaan selamat berkat benda apa saja yang bisa mereka tumpangi hingga ke tepian. Satu penumpang menghilang, yakni: suamiku, Mas Alif. Tak satu pun dari teman-temannya mengetahui jejak menghilangnya.
Aku pingsan. Kata ibuku, aku terlelap beberapa saat. Namun, setelah terbangun kembali, belum kulihat suamiku di hadapanku. Aku bertanya-tanya dimana suamiku, orang-orang di sekelilingku hanya mengadu pandang dengan bibir bergeming. Aku tahu Mas Alif belum pulang. Tangisku pecah. Ibu dan kerabat mendekap tubuhku dengan erat sambari mengelus dengan lembut.
Sampai sekarang, wajah Mas Alif masih menari-nari di kepalaku. Betapa aku merindukannya.
“Sampai kapan kamu terus begini, Ria?”
Aku kaget. Lamunanku lenyap sediakala. Suara ibuku muncul tiba-tiba di belakangku. Namun, aku malas menoleh dan juga menggerakkan bibirku. Tatapanku masih di tengah laut yang menawarkan banyak kenangan. Kenangan terakhir yang paling melekat, satu bulan setelah menikah, kami sempat bersenda-ria di atas perahu hias dalam rangka karnaval petik laut yang setiap tahun diadakan. Serasa, ingin kembali dimana pernah waktu menyuguhkan kabahagiaan itu.
“Orang-orang pada ramai membicarakan kamu di pasar,” lanjut ibuku setelah menjajariku berdiri. “Mereka menganggap kamu sudah setengah gila. Bagaimana tidak jika sikapmu berubah. Sering melamun dan jarang berbicara. Rambut dibiarkan terurai tidak terurus. Sudah tidak pernah mengenakan jilbab. Ibu khawatir kamu benar-benar menjadi gila kelak.”
“Terserah kata mereka, Bu,” aku menyahut sekenanya, “aku tak peduli. Mereka tidak tahu apa yang aku rasakan.”
“Kamu harus menerima kenyataan, anakku. Dia sudah mati. Dia pergi untuk selama-lamanya. Tak ada guna kamu terus memikirkan orang yang tak mungkin kembali.”
“Aku tidak percaya dengan kata siapa pun, Ibu. Aku lebih percaya dengan mimpi dan kata hatiku. Aku sering bermimpi Mas Alif masih hidup. Dan, mimpi itu cukup menguatkan keyakinanku.”
“Sekarang sudah genap ke seratus tiga puluh hari kepergian mantan suamimu. Jangan percaya dengan mimpi. Mimpi itu cuma sebuah bunga tidur.”
“Aku yakin mimpi yang selalu hadir itu sebuah isyarat?”
“Ibu percaya jika mimpi itu dapat dibuktikan dengan sebuah kenyataan. Jika, lelaki itu tampak di hadapan kita.” Dia menarik napas lama. “Sudahlah, anakku, jangan kamu pikirkan orang yang sudah tenang di alam baka. Sebaiknya, kita sambut lelaki baru. Kamu menikah lagi dengan orang lain. Nanti malam, ada lelaki yang akan bertamu di rumah kita. In sya Allah dia juga tak kalah baik dari almarhum. Ganteng lagi.”
Aku tak langsung menyahut. Pikiranku pecah oleh bunyi mesin perahu yang hendak meninggalkan sungai. Kualihkan pandangan ke arah perahu yang sudah menginjak tepian laut itu. Terbayang kembali wajah Mas Alif dengan segala kenangan yang pernah terjadi. Air mataku kembali jatuh. Aku menghapusnya pelan dengan perasaan begitu menyakitkan.
“Aku tak ingin menikah, Bu, sebelum pasti Mas Alif benar-benar meninggal,” kataku sesudah menghapus air mataku.
“Jika kamu tidak menikah lagi, ibu dan ayahmu akan sedih sepanjang hidup, anakku. Kami ingin punya cucu dari anak kami satu-satunya. Kami tak ingin darah daging kita musnah setelah darahmu.”
“Jangan khawatir, Bu. In sya Allah suatu saat kalian punya cucu dari darahku dan Mas Alif.”
“Sampai dunia runtuh pun, kamu tak akan menemuinya, Nak! Sudahlah, lupakan masa lalu. Sambut masa depan yang lebih pasti.”
Lalu, ibuku pergi. Gemeresak sendal jepit bersiteru dengan desir ombak yang menyisir ke tepian. Aku masih di tempat bersama angin sepoi hingga matahari benar-benar menyelam di ufuk barat.

***

Malam itu, pemuda yang dikabari ibuku benar-benar datang. Dia datang bersama seseorang yang dituakan di desa kami. Ibu dan ayahku berkali-kali mengetuk pintu kamar agar aku keluar untuk menemuinya. Ketukan pintu dan berbagai rayuan mereka terdengar melantun di telingaku. Aku tahu mereka sangat mengharapkan keputusan dari seorang janda. Beda hal dengan perawan yang boleh diterima walinya. Hingga akhirnya, aku tertarik keluar kamar.
“Aku siap menikah dengan kamu,” tegasku sesudah duduk di sofa, berjajar dengan orang tuaku. Sembari, kulirik pemuda di seberang meja sekilas. Benar, dia tampan. Namun, ketampanan itu tak sedikit pun dapat melumat rupa Mas Alif di relung hati. “Tapi, dengan satu syarat, kamu harus menceraikan aku jika suatu saat Mas Alif pulang.”
Semua orang di ruang tamu itu saling memandang dengan mimik terkejut. Dinding-dinding di sekeliling pun seakan menatapku aneh. Mungkin, mereka menganggapku benar-benar sudah setengah gila.
“Kamu yakin Alif Ibnu Aksa masih hidup?” lelaki yang berjenggot ubanan di sebelah pemuda itu menyelidik.
“Mas Alif selalu datang dalam mimpiku. Seolah-olah, dia menyampaikan sebuah pesan ia masih hidup. Aku yakin itu.”
“Hiduplah secara logis. Kedalaman laut itu adalah maut. Sekali menelan manusia, ia tidak akan mengembalikannya.”
“Nabi Yunus AS dibuang di tengah laut karena satu kesalahan. Tapi, Allah masih menghidupkannya di dalam perut ikan.”
“Terima saja syarat dia, Tuan,” ibuku menyela perdebatan kami, menyemangati pemuda yang sudah mulai memperlihatkan tampang lemas. “Alif tak mungkin kembali. Dia sudah musnah bersama ombak di laut sana.”
Empat pasang mata tamu berpandangan lekat. Bahasa mata tersampaikan dengan sekali anggukan bersamaan. Artinya, mereka sama-sama setuju.
“Kalau begitu, aku terima syaratmu,” kali ini, pemuda terbilang masih perjaka itu angkat bicara. Sejak tadi lebih banyak diam, kini ia memberanikan diri sebagai lelaki yang bersungguh-sungguh ingin menikahiku. “Kita akan menikah secepatnya.”
Aku kaget. Tak kusangka jika isyarat itu benar-benar diterima. Padahal sesungguhnya, aku berupaya menggagalkan niatnya dengan cara berpura-pura mau dan isyarat. Namun, ternyata dan ternyata, kebohongan telah menelanku sendiri. Aku tak bisa berkutik.
Hanya terhitung dua minggu, kami benar-benar menikah. Aku kembali dihias dengan rias pengantin di pelaminan. Orang-orang diundang. Sound system mengalunkan lagu indahnya pengantin baru. Tamu undangan menyaksikan seorang Sabria telah berpengantin baru lagi. Sungguh meriah. Tapi, mereka tidak tahu betapa pahit rasa hatiku. Bersanding dengan lelaki yang bukanlah orang yang aku cinta memanglah sangat berat. Raga bersanding dengan Zayan Ahmad, tapi batin menjelma sorang Alif. Sungguh menyakitkan.
Nasi sudah manjadi bubur. Niscaya, aku berupaya jatuh cinta lagi. Benar kata orang-orang, Mas Alif masa laluku. Masa depanku adalah suamiku yang nyata, Zayan Ahmad. Namun, jatuh cinta lagi tidak semudah dalam harapan. Butuh proses berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Pahit memang, tapi inilah hidupku sekarang. Berjuang sekuat tenaga demi menjauhkan Alif Ibnu Aksa dan menyambut Zayan Ahmad.
Seiring waktu berganti musim, bunga-bunga di taman gugur lalu mengembang kembali, aku pun jatuh cinta lagi. Samar-samar, bayangan wajah Mas Alif memudar, Zayan Ahmad menghadirkan cinta. Cinta yang mampu membawaku ke alam nirwana. Indahnya cinta yang tak bisa ditukar dengan apa pun. Hingga suatu saat, aku mengandung bayi dari Zayan Ahmad. Kami sangat senang.

***

Kehamilan sudah berusia tujuh bulan. Aku rutin pergi ke bidan demi menjaga kehamilan. Satu kali dibawa ke dokter USG, diperkirakan bayi laki-laki. Pun, kami sepakat menentukan sebuah nama yang bagus.
“Anak kita, mau dikasih nama apa, Sayang?” kata suamiku suatu malam.
“Bagaimana kalau kita meminta nama ke ustadz saja?”
“Boleh.”
Pada saat yang sama, sayup-sayup terdengar panggil salam di halaman rumah. Kami berdua menjawab salam sebelum meninggalkan kamar untuk menemui siapa yang datang. Kebetulan di rumah, malam itu tinggal kami bedua. Ibu dan ayah pergi ke sanak keluarga di kampung sebelah.
“Alif?!” hatiku tertohok begitu kulihat yang berdiri di hadapanku itu adalah lelaki yang pernah hilang hampir dua tahun lalu.
“Iya, Sabria, ini aku suamimu, Alif datang.”
Air mataku pecah. Tubuhku terasa menggigil dan tak berdaya. “Tidak, ini tidak mungkin. Kamu sudah mati!”
“Seekor ikan paus yang telah membawaku sampai di Kepulauan Masalembu. Maaf, aku tidak langsung pulang karena tidak punya bekal perjalanan.”
Pandanganku tiba-tiba gelap. Gelap sekali. Entah seberapa lama berselang kemudian, aku melihat cahaya kembali. Mataku berkedip-kedip. Kulihat di tempat berbeda. Aroma tak sedap menusuk hidungku.
“Kamu sudah sadar, Sayang?!” suara Zayan pertama kali yang kudengar. Dia duduk di sampingku.
“Kita di mana, Mas?!”
“Kita di Puskesmas. Pas kamu pingsan tadi, kami langsung membawamu kemari. Kami khawatir terjadi apa-apa dengan kamu.”
“Dimana dia sekarang, Mas?” tanyaku setelah kupandangi satu per satu orang di sekelilingku.
“Alif?”
Aku mengangguk.
“Dia pamit pulang duluan. Dia sudah tahu tentang kita. Apa syarat kita masih berlaku?”
Aku menarik napas panjang. Deras air mata mengalir di pipiku. “Aku bahagia Mas Alif masih hidup dan pulang dengan selamat.” Sekali kutelan ludah di tenggorokanku. “Tapi, lupakan saja syarat itu, Mas. Meskipun Mas Alif sudah pulang, tapi suamiku bukanlah dia. Suamiku adalah ayah dari bayi yang aku kandung sekarang.”
Suamiku tersenyum sebelum mencium keningku. Kurasakan hawa hangat dari bibirnya, yang seakan ada sebuah energi menyetrum saraf-saraf ragaku. Hatiku sedih dan bahagia bercampur rasa.

***


Karya: Airi Altairaksa


Ctt: Cepen ini terbit di antologi Cinta Sang Hawa 2019





















Biodata Penulis

Khairi adalah nama asli penulis, kelahiran Sampang, 29 Agustus. Jenis kelamin laki-laki. Tinggal di jalan Madrasah Nurul Amin, Desa Tamberu Daya, Kec. Sokobanah, Kab. Sampang Jawa Timur. Kode Pos 69262. Email: airi.j.altairraksa@gmail.com.
Dia pernah menerbitkan novel solo berjudul "Dzikir Cinta" versi digital di play store. 
Karya lainnya adalah: Isyarat Tuhan di antologi cerpen “Penantang Mimpi”, Penghuni Pinggiran di antologi cerpen “25 Bingkisan Rasa”, Kepergian Aktifa di antologi “Menikahlah dengaku”. Dalam Bias Cahaya Bulan di antologi cerpen “Serpihan Rindu”. Bahtera Cinta Sabria di antologi “Cinta Sang Hawa”.
Juga puisi: Labirin Cinta di Antologi puisi "Cinta Sang Adam", Purnama di Gurun Sahara di antologi puisi “Merindu Rasul Dalam Sajak”, Di Bawah Jingga di antologi puisi “Eca-Moment 2”, Yang Bermata Biru Langit di antologi puisi “Surat Cinta untuk Bunda”, dan salah satu judul puisinya numpang di buku novel “Basuhan Kaki Ibu”, karya Taufiqurrahman al-Azizy.


Terima Kasih Telah Berkunjung
Jika mengutip harap berikan link DOFOLLOW yang menuju pada artikel Bahtera Cinta Sabria ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatian anda

0 Response to "Bahtera Cinta Sabria"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel