Bahtera Cinta Sabria
pixabay |
Baru dua bulan kami menikah, suamiku tiba-tiba menghilang
bersama gelombang laut. Tak ada yang tahu kabar beritanya. Terakhir kami
melihat senyum manis dan lambaian tangannya sebelum perahu nelayan beranjak
meninggalkan sungai di sebelah rumahku. Sungai terbesar seantero pantai utara
itu memang dijadikan tempat perahu bersandar sepanjang waktu. Setiap pagi,
puluhan perahu berlabuh lalu kembali melepas ke tengah laut ketika sore hari.
Tak terkecuali, perahu nelayan tempat suamiku bekerja.
Suamiku, Mas Alif bekerja nelayan milik tetangga dengan
upah per bulan. Pergi sore, pulang pagi. Dia selalu bermalam di tengah laut
berbantalkan ombak dan berselimutkan angin dingin. Setiap sore, aku rutin duduk
di tempat yang sama demi menghantar keberangkatan lelaki tersayang. Begitu pun
setiap pagi, aku duduk di teras rumah demi menyambut kedatangannya.
“Sabriaaa!” teriakan itu selalu pecah dari bibir Mas Alif
sebelum perahu menjauh ke tengah laut dan setiba di sungai itu.
Aku membalas senyum dan lambaian tangannya. “Iya, Mas!”
Namun, suatu pagi, di saat kutunggu kedatangannya, kabar
buruk tiba-tiba menohok jantungku. Perahu rombongan Mas Alif tiba-tiba
tenggelam di tengah laut yang entah berapa ratus meter dari pantai. Enam
penumpang pulang dengan keadaan selamat berkat benda apa saja yang bisa mereka
tumpangi hingga ke tepian. Satu penumpang menghilang, yakni: suamiku, Mas Alif.
Tak satu pun dari teman-temannya mengetahui jejak menghilangnya.
Aku pingsan. Kata ibuku, aku terlelap beberapa saat. Namun,
setelah terbangun kembali, belum kulihat suamiku di hadapanku. Aku
bertanya-tanya dimana suamiku, orang-orang di sekelilingku hanya mengadu pandang
dengan bibir bergeming. Aku tahu Mas Alif belum pulang. Tangisku pecah. Ibu dan
kerabat mendekap tubuhku dengan erat sambari mengelus dengan lembut.
Sampai sekarang, wajah Mas Alif masih menari-nari di
kepalaku. Betapa aku merindukannya.
“Sampai kapan kamu terus begini, Ria?”
Aku kaget. Lamunanku lenyap sediakala. Suara ibuku muncul
tiba-tiba di belakangku. Namun, aku malas menoleh dan juga menggerakkan
bibirku. Tatapanku masih di tengah laut yang menawarkan banyak kenangan.
Kenangan terakhir yang paling melekat, satu bulan setelah menikah, kami sempat
bersenda-ria di atas perahu hias dalam rangka karnaval petik laut yang setiap
tahun diadakan. Serasa, ingin kembali dimana pernah waktu menyuguhkan
kabahagiaan itu.
“Orang-orang pada ramai membicarakan kamu di pasar,”
lanjut ibuku setelah menjajariku berdiri. “Mereka menganggap kamu sudah
setengah gila. Bagaimana tidak jika sikapmu berubah. Sering melamun dan jarang
berbicara. Rambut dibiarkan terurai tidak terurus. Sudah tidak pernah
mengenakan jilbab. Ibu khawatir kamu benar-benar menjadi gila kelak.”
“Terserah kata mereka, Bu,” aku menyahut sekenanya, “aku
tak peduli. Mereka tidak tahu apa yang aku rasakan.”
“Kamu harus menerima kenyataan, anakku. Dia sudah mati. Dia
pergi untuk selama-lamanya. Tak ada guna kamu terus memikirkan orang yang tak
mungkin kembali.”
“Aku tidak percaya dengan kata siapa pun, Ibu. Aku lebih
percaya dengan mimpi dan kata hatiku. Aku sering bermimpi Mas Alif masih hidup.
Dan, mimpi itu cukup menguatkan keyakinanku.”
“Sekarang sudah genap ke seratus tiga puluh hari
kepergian mantan suamimu. Jangan percaya dengan mimpi. Mimpi itu cuma sebuah
bunga tidur.”
“Aku yakin mimpi yang selalu hadir itu sebuah isyarat?”
“Ibu percaya jika mimpi itu dapat dibuktikan dengan
sebuah kenyataan. Jika, lelaki itu tampak di hadapan kita.” Dia menarik napas lama.
“Sudahlah, anakku, jangan kamu pikirkan orang yang sudah tenang di alam baka.
Sebaiknya, kita sambut lelaki baru. Kamu menikah lagi dengan orang lain. Nanti
malam, ada lelaki yang akan bertamu di rumah kita. In sya Allah dia juga tak
kalah baik dari almarhum. Ganteng lagi.”
Aku tak langsung menyahut. Pikiranku pecah oleh bunyi
mesin perahu yang hendak meninggalkan sungai. Kualihkan pandangan ke arah
perahu yang sudah menginjak tepian laut itu. Terbayang kembali wajah Mas Alif
dengan segala kenangan yang pernah terjadi. Air mataku kembali jatuh. Aku
menghapusnya pelan dengan perasaan begitu menyakitkan.
“Aku tak ingin menikah, Bu, sebelum pasti Mas Alif
benar-benar meninggal,” kataku sesudah menghapus air mataku.
“Jika kamu tidak menikah lagi, ibu dan ayahmu akan sedih
sepanjang hidup, anakku. Kami ingin punya cucu dari anak kami satu-satunya. Kami
tak ingin darah daging kita musnah setelah darahmu.”
“Jangan khawatir, Bu. In sya Allah suatu saat kalian
punya cucu dari darahku dan Mas Alif.”
“Sampai dunia runtuh pun, kamu tak akan menemuinya, Nak!
Sudahlah, lupakan masa lalu. Sambut masa depan yang lebih pasti.”
Lalu, ibuku pergi. Gemeresak sendal jepit bersiteru
dengan desir ombak yang menyisir ke tepian. Aku masih di tempat bersama angin
sepoi hingga matahari benar-benar menyelam di ufuk barat.
***
Malam itu, pemuda yang dikabari ibuku benar-benar datang.
Dia datang bersama seseorang yang dituakan di desa kami. Ibu dan ayahku
berkali-kali mengetuk pintu kamar agar aku keluar untuk menemuinya. Ketukan
pintu dan berbagai rayuan mereka terdengar melantun di telingaku. Aku tahu
mereka sangat mengharapkan keputusan dari seorang janda. Beda hal dengan
perawan yang boleh diterima walinya. Hingga akhirnya, aku tertarik keluar
kamar.
“Aku siap menikah dengan kamu,” tegasku sesudah duduk di
sofa, berjajar dengan orang tuaku. Sembari, kulirik pemuda di seberang meja
sekilas. Benar, dia tampan. Namun, ketampanan itu tak sedikit pun dapat melumat
rupa Mas Alif di relung hati. “Tapi, dengan satu syarat, kamu harus menceraikan
aku jika suatu saat Mas Alif pulang.”
Semua orang di ruang tamu itu saling memandang dengan
mimik terkejut. Dinding-dinding di sekeliling pun seakan menatapku aneh. Mungkin,
mereka menganggapku benar-benar sudah setengah gila.
“Kamu yakin Alif Ibnu Aksa masih hidup?” lelaki yang
berjenggot ubanan di sebelah pemuda itu menyelidik.
“Mas Alif selalu datang dalam mimpiku. Seolah-olah, dia
menyampaikan sebuah pesan ia masih hidup. Aku yakin itu.”
“Hiduplah secara logis. Kedalaman laut itu adalah maut.
Sekali menelan manusia, ia tidak akan mengembalikannya.”
“Nabi Yunus AS dibuang di tengah laut karena satu kesalahan.
Tapi, Allah masih menghidupkannya di dalam perut ikan.”
“Terima saja syarat dia, Tuan,” ibuku menyela perdebatan
kami, menyemangati pemuda yang sudah mulai memperlihatkan tampang lemas. “Alif
tak mungkin kembali. Dia sudah musnah bersama ombak di laut sana.”
Empat pasang mata tamu berpandangan lekat. Bahasa mata
tersampaikan dengan sekali anggukan bersamaan. Artinya, mereka sama-sama
setuju.
“Kalau begitu, aku terima syaratmu,” kali ini, pemuda terbilang
masih perjaka itu angkat bicara. Sejak tadi lebih banyak diam, kini ia
memberanikan diri sebagai lelaki yang bersungguh-sungguh ingin menikahiku. “Kita
akan menikah secepatnya.”
Aku kaget. Tak kusangka jika isyarat itu benar-benar diterima.
Padahal sesungguhnya, aku berupaya menggagalkan niatnya dengan cara
berpura-pura mau dan isyarat. Namun, ternyata dan ternyata, kebohongan telah
menelanku sendiri. Aku tak bisa berkutik.
Hanya terhitung dua minggu, kami benar-benar menikah. Aku
kembali dihias dengan rias pengantin di pelaminan. Orang-orang diundang. Sound system mengalunkan lagu indahnya
pengantin baru. Tamu undangan menyaksikan seorang Sabria telah berpengantin
baru lagi. Sungguh meriah. Tapi, mereka tidak tahu betapa pahit rasa hatiku.
Bersanding dengan lelaki yang bukanlah orang yang aku cinta memanglah sangat
berat. Raga bersanding dengan Zayan Ahmad, tapi batin menjelma sorang Alif.
Sungguh menyakitkan.
Nasi sudah manjadi bubur. Niscaya, aku berupaya jatuh
cinta lagi. Benar kata orang-orang, Mas Alif masa laluku. Masa depanku adalah
suamiku yang nyata, Zayan Ahmad. Namun, jatuh cinta lagi tidak semudah dalam
harapan. Butuh proses berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Pahit memang,
tapi inilah hidupku sekarang. Berjuang sekuat tenaga demi menjauhkan Alif Ibnu
Aksa dan menyambut Zayan Ahmad.
Seiring waktu berganti musim, bunga-bunga di taman gugur
lalu mengembang kembali, aku pun jatuh cinta lagi. Samar-samar, bayangan wajah
Mas Alif memudar, Zayan Ahmad menghadirkan cinta. Cinta yang mampu membawaku ke
alam nirwana. Indahnya cinta yang tak bisa ditukar dengan apa pun. Hingga suatu
saat, aku mengandung bayi dari Zayan Ahmad. Kami sangat senang.
***
Kehamilan sudah berusia tujuh bulan. Aku rutin pergi ke
bidan demi menjaga kehamilan. Satu kali dibawa ke dokter USG, diperkirakan bayi
laki-laki. Pun, kami sepakat menentukan sebuah nama yang bagus.
“Anak kita, mau dikasih nama apa, Sayang?” kata suamiku
suatu malam.
“Bagaimana kalau kita meminta nama ke ustadz saja?”
“Boleh.”
Pada saat yang sama, sayup-sayup terdengar panggil salam
di halaman rumah. Kami berdua menjawab salam sebelum meninggalkan kamar untuk
menemui siapa yang datang. Kebetulan di rumah, malam itu tinggal kami bedua. Ibu
dan ayah pergi ke sanak keluarga di kampung sebelah.
“Alif?!” hatiku tertohok begitu kulihat yang berdiri di
hadapanku itu adalah lelaki yang pernah hilang hampir dua tahun lalu.
“Iya, Sabria, ini aku suamimu, Alif datang.”
Air mataku pecah. Tubuhku terasa menggigil dan tak
berdaya. “Tidak, ini tidak mungkin. Kamu sudah mati!”
“Seekor ikan paus yang telah membawaku sampai di
Kepulauan Masalembu. Maaf, aku tidak langsung pulang karena tidak punya bekal
perjalanan.”
Pandanganku tiba-tiba gelap. Gelap sekali. Entah seberapa
lama berselang kemudian, aku melihat cahaya kembali. Mataku berkedip-kedip.
Kulihat di tempat berbeda. Aroma tak sedap menusuk hidungku.
“Kamu sudah sadar, Sayang?!” suara Zayan pertama kali
yang kudengar. Dia duduk di sampingku.
“Kita di mana, Mas?!”
“Kita di Puskesmas. Pas kamu pingsan tadi, kami langsung
membawamu kemari. Kami khawatir terjadi apa-apa dengan kamu.”
“Dimana dia sekarang, Mas?” tanyaku setelah kupandangi
satu per satu orang di sekelilingku.
“Alif?”
Aku mengangguk.
“Dia pamit pulang duluan. Dia sudah tahu tentang kita. Apa
syarat kita masih berlaku?”
Aku menarik napas panjang. Deras air mata mengalir di
pipiku. “Aku bahagia Mas Alif masih hidup dan pulang dengan selamat.” Sekali
kutelan ludah di tenggorokanku. “Tapi, lupakan saja syarat itu, Mas. Meskipun
Mas Alif sudah pulang, tapi suamiku bukanlah dia. Suamiku adalah ayah dari bayi
yang aku kandung sekarang.”
Suamiku tersenyum sebelum mencium keningku. Kurasakan
hawa hangat dari bibirnya, yang seakan ada sebuah energi menyetrum saraf-saraf
ragaku. Hatiku sedih dan bahagia bercampur rasa.
***
Biodata
Penulis
Khairi adalah nama
asli penulis, kelahiran Sampang, 29 Agustus. Jenis kelamin laki-laki. Tinggal
di jalan Madrasah Nurul Amin, Desa Tamberu Daya, Kec. Sokobanah, Kab. Sampang Jawa
Timur. Kode Pos 69262. Email: airi.j.altairraksa@gmail.com.
Dia pernah menerbitkan novel solo berjudul "Dzikir Cinta" versi digital di play store.
Karya lainnya adalah: Isyarat Tuhan di
antologi cerpen “Penantang Mimpi”, Penghuni Pinggiran di antologi cerpen “25 Bingkisan Rasa”,
Kepergian Aktifa di antologi “Menikahlah dengaku”. Dalam Bias Cahaya Bulan di antologi cerpen “Serpihan Rindu”. Bahtera Cinta Sabria di antologi “Cinta Sang
Hawa”.
Juga puisi: Labirin Cinta di Antologi puisi "Cinta Sang Adam", Purnama di Gurun Sahara di antologi puisi “Merindu Rasul Dalam Sajak”, Di
Bawah Jingga di antologi puisi “Eca-Moment 2”, Yang Bermata Biru Langit
di antologi puisi “Surat Cinta untuk Bunda”, dan salah satu judul puisinya
numpang di buku novel “Basuhan Kaki Ibu”, karya Taufiqurrahman al-Azizy.
Terima Kasih Telah Berkunjung
Jika mengutip harap berikan link DOFOLLOW yang menuju pada artikel Bahtera Cinta Sabria ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatian anda
Jika mengutip harap berikan link DOFOLLOW yang menuju pada artikel Bahtera Cinta Sabria ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatian anda
0 Response to "Bahtera Cinta Sabria"
Posting Komentar