Dalam Bias Cahaya Bulan
Ilustrasi: alamatika.files.wordpress.com |
Bertahun-tahun Fatma belum terdengar
kabarnya. Hilang seperti ditelan bumi. Sedangkan, kerinduan Pak Fadli, ayah
kandung Fatma tak pernah luntur. Dari tahun ke tahun, dia terus membentangkan
telapak tangannya ke langit dan mengharapkan anak sulungnya pulang atau beri
kabar keberadaan. Kepada setiap orang yang baru datang dari tanah rantau, dia menanyakan
tentang anaknya, Fatma. Namun, tak seorang pun tahu menahu keberadaan anak
sulungnya itu. Sungguhlah Fatma benar-benar hilang jejak semenjak berpisah dengan
suaminya di tanah rantau.
Ketika mengingat ketidakpastian anaknya
itu, Pak Fadli teramatlah sedih dan kehilangan. Terlebih bila mengingat kata
orang-orang yang telah meyakini Fatma sudah meninggal di suatu tempat yang teramat
asing, yang jauh dari jangkauan orang terdekat, batinnya serasa terbebani puluhan
ton batu keras. Jika menurutkan penghitungan sejak terakhir kabar Fatma hingga
sekarang yang sudah terbilang kurang lebih dua puluh tahun hilang status, boleh
dibenarkan Fatma memang sudah pergi ke alam baka. Tapi terkadang, Pak Fadli tidak
mempercayai itu. Ada firasat lain yang berbisik Fatma masih hidup. Jika memang anaknya
sudah meninggal, dimanakah jejak kematian itu? Tak mungkin mayat Fatma tanpa
identitas. Fatma pergi ke negeri jiran dengan surat-surat lengkap.
Lelaki sudah beruban itu tak bisa
menepis bayang-bayang samar anaknya. Seakan, wajah cantik itu begitu dekat dan
menari-nari di ubun-ubun. Terlebih bila bulan purnama mencul dengan bias putih
keperakan di ufuk timur, Pak Fadli terayun oleh masa lalu yang kelam, dimana
kurun pernah menuangkan kisah Fatma di rumah gubuk mungil itu.
Masih diingat sangat ketika itu, di saat
lampu listrik belum menyala di kampung-kampung desa pedalaman itu, hanya saja
lampu minyak tanah bergantung di emperan rumah, Fatma kerap mengajak duduk di
halaman dengan sepiring singkong rebus hasil masakannya. Ranjang bambu satu
kali dua meter diduduki oleh tiga orang sedarah. Sampai bulan bergantung di
atas kepala, mereka bersenda gurau di ruang lepas bersama angin malam hingga
kantuk datang. Memang terlalu indah malam purnama kala itu.
Namun, suatu bulan purnama lain, Fatma
tiba-tiba meminta izin pergi ke tanah rantau dengan alasan ingin mengubah nasib
keluarga.
"Terlalu berat Ayah kau merantau,
anakku," sanggah Fadli dengan sisa singkong di mulutnya, makanan terlezat
ketika itu. "Hidup di negeri orang terlalu berisiko. Apalagi, kau terlalu muda
jauh dari orang tua."
"Fatma sudah berusia delapan belas
tahun, Ayah. Sudah saatnya Fatma membantu beban orang tua.”
“Memangnya, kau mau kerja apa di sana?
SD saja kamu tidak lulus.”
“Fatma dengar, ada majikan teman butuh
tenaga kerja baru di rumahnya, Yah. Tidak perlu ijazah. Yang penting rajin
bekerja.”
Fadli merenung sejenak lalu teringat
sesuatu. "Kematian almarhumah ibumu sudah berumur satu tahun, tapi rasa
kehilangan masih sangat dirasakan. Sekarang, kau juga malah mau pergi. Lantas,
siapa yang mau menghibur Ayah di rumah? Yang mau membuat masakan siapa
pula?"
Hati Fatma terantuk dan menyadari itu. Ada
rasa iba. Namun, di sisi lain, dia tak bisa menepis keinginan. Keinginan itu terlalu
kuat dan melenyapkan segala rasa hati. Digenggamlah punggung tangan legam
ayahnya dengan penuh harap dapat restu. Sembari berkata,
“Ayah, Fatma pergi bukan untuk
meninggalkan kalian. Fatma pergi untuk kembali dan demi masa depan keluarga
kita. Apalagi,” mata bak bunga mekar itu melirik adiknya yang sedang menikmati
singkong di sebelahnya, “Dani setelah lulus SD, mau dimasukkan ke pesantren.
Kita akan menambah biaya hidup. Mana lagi, sisa hutang ke tetangga belum
terlunasi.”
“Jika musim kemarau ini bernasib baik, kita
akan melunasi semua hutang.”
“Musim sekarang sudah tidak tentu, Yah.
Orang-orang sudah mulai memilih cari nafkah di luar sana daripada tanam
tembakau. Lagipula, lahan pertanian kita sangat terbatas.”
Pak Fadli tertunduk diam lama. Singkong rebus
di hadapan tak lagi lezat.
“Ayolah, Yah,” lanjut Fatma dengan membujuk,
“Ayah tak perlu khawatir. In sya Allah kita baik-baik saja.”
“Dengan siapa kau pergi ke sana?”
“Banyak, Yah. Tetangga kita, sekitar
lima orang. Mereka sudah mendaftar keberangkatan ke tekong Mardi.”
Sekali lagi, Pak Fadli menelan ludah kecut.
“Biaya perjalanan pasti mahal. Ayah tidak pegang uang banyak. Apa perlu ayah
pinjam lagi? Ayah sudah tidak punya pandangan untuk meminjam uang ke siapa pun.”
“Ada calon TKW siap kasih pinjaman kok,
Yah. Nanti Fatma lunasi di Kuala Lumpur, sesudah gajian.”
Pak Fadli menarik nafas dalam. Nafas
berat yang dapat dirasakan di telinga. “Kalau begitu, Ayah tak menyuruh dan
juga tidak melarang. Terserah engkau. Cuma pesan Ayah, ingat salat lima waktu.”
Fatma berangguk penuh kesenangan. Terpancar
bayang-bayang harapan di layar wajahnya.
Sesudah lengkap surat-surat perjalanan,
berangkatlah Fatma ke negeri seberang. Berminggu-minggu, dia tak pernah memberi
kabar. Baru genap tiga puluh hari di tanah ringgit itu, Fatma beri kabar
pertama melalui surat yang dihantar kurir antar dua negera. Alangkah senang Pak
Fadli dengan surat yang menguraikan ketenangan anaknya di negeri orang sana. Bahkan,
surat kedua dan ketiga dalam dua bulan tiap akhir bulan, cukup menyejukkan hati
keluarga di kampung.
Yang lebih menyenangkan dari itu, adalah
surat keempat. Surat kali itu, kabar Fatma akan disunting anak bujang
Kalimantan. Tentulah dengan senang hati Pak Fadli merestuinya. Dia cepat membalas
surat itu agar pernikahan disegerakan dengan mengangkat wali di seberang.
Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu kebahagiaan
Pak Fadli tak pernah pudar. Banyak bersukur kepada Tuhan atas segala kemudahan
perjalanan hidup anaknya. Baru tiga bulan tinggal di tanah rantau, Fatma tiba-tiba
dipersunting oleh seorang anak cucu Adam. Acara nikahnya pun berjalan lancar. Sekarang,
tak perlu dicemasi keberadaannya. Sudah ada yang menjaga.
Namun, suatu hari, ketika kelopak bunga
masih bermekaran di tengah keluarga kecilnya itu, tiba-tiba kabar lain
bertandang dari orang-orang yang baru pulang dari negeri seberang, bahwa: pernikahan
Fatma hanya berlangsung seumur jagung. Fatma ditalak suami di usia lebih satu bulan
tanpa ada yang tahu menahu sebab musababnya. Selang beberapa hari kemudian,
keduanya sama-sama menghilang tanpa jejak.
***
Lelaki enam puluh lima tahun itu masih
merenung di langgar bambu itu. Kepulan asap rokok di jemarinya melebur di bias cahaya
bulan. Mata cekung selalu menandangi bekas tempat ranjang yang pernah diduduki
anaknya dulu, tepatnya di hadapan langgar itu. Begitu seseorang datang
mendekat, ia bergegas menyeka air mata berlinang-linang.
“Sampai kapan Ayah terus mengingat
almarhumah Kak Fatma?” kata Dani setelah duduk, sambil menatap wajah berkerutan
di sebelahnya itu. “Percuma kita mengingat orang yang sudah menjadi tanah. Tidak
akan pernah membuat mayat hidup kembali.”
Duda tetap itu melempar rokok yang sudah
habis sembari batuk-batuk. “Semalam, Ayah bermimpi Fatma datang dengan keempat
anaknya yang sudah besar. Ayah yakin Fatma masih hidup.”
“Kabar terakhir almarhumah di saat Dani
berusia sebelas tahun. Kalau tidak salah, tahun seribu sembilan ratus sembilan
puluh delapan. Sekarang, sudah tahun dua ribu delapan belas. Kalau dihitung,
sudah berapa tahun almarhumah tak ada kabar, Yah? Jika dia memang masih hidup,
pastilah dia datang atau mengabari kita.”
Pak Fadli kembali batuk-batuk. Dani
dengan sigap mengisi air dari cerek ke liang gelas untuk diberikan kepada ayahnya.
Lain arah terdengar suara lain, pijakan sandal jepit memecah di halaman. Samar-samar
sesosok perempuan yang sedang menggendong anaknya mendekat.
“Baru bertemu Kepala Dusun di jalan.
Titip surat ini.” Istri Dani menyerahkan sepucuk surat itu kepada suaminya. “Katanya,
surat itu datang tadi sore.”
“Surat dari siapa, Dik?” Dani teramat
keheranan.
Perempuan itu mengangkat bahu. Dani mengecek
sang pengirim, tertulis Lukman Hakim yang beralamatkan sebuah desa di
Kalimantan Utara. Lekas-lekas dibuka surat itu, lalu dibaca hingga tuntas.
“Kak Fatma masih hidup, Yah,” tutur Dani
dengan teramat girang.
Sedangkan, Pak Fadli terperangah yakin
tak yakin. “Kau... kau ... tak bercanda kan, Nak?”
“Tidak, Yah. Ini surat dari Kak Fatma.
Cuma, pengiriman surat atas nama suaminya.”
“Alhamdulillah, anakku.” Pak Fadli
langsung bersujud sukur dengan linangan air mata bahagia. Sesudah bersujud, ia
meminta putranya menceritakan seluruh isi surat itu.
“Kak Fatma memang pernah dicerai dalam
beberapa hari lantaran kesalahpahaman. Akan tetapi, dia cepat dirujuk sebelum ikut
suami pindah kongsi karena kepentingan pekerjaan baru. Tak seberapa lama di
kongsi barunya, suaminya terdesak pulang kampung karena dikabarkan ayahnya sakit
parah. Kak Fatma tak sempat menuliskan surat untuk kita.
“Sampai di Kalimantan, mertuanya meninggal.
Kak Fatma tak punya waktu mengirim surat hingga tertumpang tindih dengan kesibukan
lain. Merawat ibu mertua yang terkena penyakit lumpuh dan kesibukan rumah
lainnya. Sedangkan, suaminya yang memang anak tunggal dan pengganti peran
ayahnya di rumah itu, ikut orang bekerja di perkebunan di daerah lain. Ditambah
lagi, kepengurusan kirim surat terlalu sulit karena desa yang mereka tinggali
jauh dari perkotaan. Dibutuhkan biaya mahal. Dan, kabar yang paling bahagia, Yah,
Kak Fatma ternyata sudah memiliki tiga anak lelaki dan seorang anak bungsu perempuan.”
Pak Fadli tersenyum, lalu tiba-tiba
bermuram durja. “Tapi, Ayah tak percaya dengan semua alasan itu.”
Dani mengerutkan kening. “Maaf, yah, Dani
kurang paham maksud Ayah?”
“Sesibuk apa pun orang, jika memang
peduli orang tua, dia akan merelakan waktunya demi orang yang pernah
membesarkannya.”
“Jangan berburuk sangka, Yah. Sudahlah,
yang penting sekarang, Kak Fatma sudah menjelaskan keberadaannya. Kita pikirkan
bagaimana menyambut Kak Fatma beserta keluarganya kelak.”
Pak Fadli mengangkat muka. “Dia mau datang?”
Dani mengangguk dengan bibir mengembang.
“Di tulisan terakhir, Kak Fatma sedang berusaha mengumpulkan uang untuk membawa
keluarganya ke hadapan kita. Kita doakan, Yah.”
Tak terasa jua, Pak Fadli meneteskan air
mata haru. Selayang bayang anak sulung dan cucunya menari-nari sangat dekat. Lenyaplah
tekanan batin yang bertahun-tahun menjamur di dadanya itu. Bulan purnama di
awan terlihat begitu sempurna. Seakan, menuliskan kisah baru.
***
Karya: Airi Altairaksa
21 April 2018
Ctt: Buku ini pernah terbit bersama buku "Serpihan Rindu" 2018
Biodata
Penulis
Khairi adalah nama
asli penulis, kelahiran Sampang, 29 Agustus. Jenis kelamin laki-laki. Tinggal
di jalan Madrasah Nurul Amin, Desa Tamberu Daya, Kec. Sokobanah, Kab. Sampang Jawa
Timur. Kode Pos 69262. Email: airi.j.altairraksa@gmail.com.
Karyanya yang pernah numpang terbit adalah: Isyarat Tuhan di
antologi cerpen “Penantang Mimpi”, Penghuni Pinggiran di antologi cerpen “25 Bingkisan Rasa”,
Kepergian Aktifa di antologi “Menikahlah dengaku”. Dalam Bias Cahaya Bulan di antologi cerpen “Serpihan Rindu”. Bahtera Cinta Sabria di antologi "Cinta Sang Hawa".
Juga puisi: Purnama di Gurun Sahara di antologi puisi “Merindu Rasul Dalam Sajak”, Di Bawah Jingga di antologi puisi “Eca-Moment 2”, Yang Bermata Biru Langit di antologi puisi “Surat Cinta untuk Bunda”, dan salah satu judul puisinya numpang di buku novel “Basuhan Kaki Ibu”, karya Taufiqurrahman al-Azizy.
Juga puisi: Purnama di Gurun Sahara di antologi puisi “Merindu Rasul Dalam Sajak”, Di Bawah Jingga di antologi puisi “Eca-Moment 2”, Yang Bermata Biru Langit di antologi puisi “Surat Cinta untuk Bunda”, dan salah satu judul puisinya numpang di buku novel “Basuhan Kaki Ibu”, karya Taufiqurrahman al-Azizy.
Terima Kasih Telah Berkunjung
Jika mengutip harap berikan link DOFOLLOW yang menuju pada artikel Dalam Bias Cahaya Bulan ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatian anda
Jika mengutip harap berikan link DOFOLLOW yang menuju pada artikel Dalam Bias Cahaya Bulan ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatian anda
0 Response to "Dalam Bias Cahaya Bulan"
Posting Komentar